ALI ALATAS BENAR, BLAIR MINTA MAAF

Disalin ulang dari Kompasiana  17 November 2015.

 ALI ALATAS BENAR, BLAIR MINTA MAAF

Irak sudah hancur akibat serangan pasukan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, termasuk Inggris. Peta politik sudah berubah di tanah berdomisilinya Sahabat Nabi Muhammad SAW, Ali ra. Juga tempat Husein, anaknya Ali ra dipotong lehernya. Kepalanya dijadikan permainan bola, ditendang ke sana ke mari oleh kaki-kaki kuda musuh. Memilukan dan sedih. Tetapi Allah SWT berkehendak atas sesuatu.
 (Foto: CNN Indonesia)

Pada September 2014, ketika saya ke Irak untuk kedua kalinya, saya masih melihat tumpukan tanah di sana dekat Bandara Baghdad. Ini adalah akibat serangan udara pasukan AS dan sekutunya, termasuk Inggris. Betapa dahsyatnya serangan itu, sehingga memunculkan bekas-bekas tak terlupakan. Inilah warisan yang ditinggalkan oleh pasukan AS dan sekutunya, yang kemudian memunculkan apa yang dinamakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS/Negara Islam Irak dan Syam/Suriah).

Munculnya ISIS setelah Irak dihancur-leburkan. Setelah Saddam Hussein, Presiden sah di negara itu digantung. Munculnya ISIS pun mengagetkan kita. Tiba-tiba muncul saja di tengah-tengah kota Bagdad, paling banyak di Tikrit, di tempat kelahiran Saddam Hussein. Dapat kita saksikan, pasukan ISIS itu memiliki dana yang jumlahnya sangat besar. Seperti di film Aladdin, tiba-tiba mereka muncul di tengah-tengah negara Irak, lengkap dengan senjata, di mana kendaraan mewahnya berasal dari Asia, juga di Suriah, mereka tiba-tiba sudah mengakar saja di sana. Saya pernah melihat suatu keanehan, jika tidak ada negara yang mendukung.

Pengamat-pengamat mengatakan, ini pekerjaan AS ? Tetapi  kenapa AS juga berusaha mati-matian menghancurkan ISIS. Apakah ini hanya slogan saja, perkataan lain, perbuatan lain. Tidak seorang pun yang tahu karena sudah memasuki ranah intelijen. Serba tidak jelas, serba abu-abu.

Posisi kekuatan pun berubah seketika, ketika Rusia membantu Suriah. Selanjutnya mendukung Iran dan Irak sekarang ini. Seperti yang kita ketahui di Irak sekarang, kelompok Muslim Syi'ah kembali berkuasa setelah tumbangnya  Saddam Hussein (Sunni). Di Iran sudah jelas yang muncul di sana Muslim Syi'ah, begitu pula di Suriah. Jika kita simpulkan, Rusia memang sangat cantik berstrategi. Negara itu sudah jelas tidak memakai konsep yang sama dengan AS yang mendukung Sunni, tetapi suatu kesalahan besar ketika akhirnya, negara itu sendiri yang menghancurkan kekuatan Saddam Hussein, seorang Sunni.

Awalnya Presiden Saddam Hussein didukung oleh AS untuk naik ke puncak kekuasaan di Irak. Sejarah telah mencatat hal itu. Tidak dapat diragukan. Lama kelamaan sikap AS berubah setelah Irak menyerang Kuwait. Setelah itu AS berubah sikap terhadap Irak. Bahkan di dua kepemimpinan Amerika Serikat, George H.W.Bush (Ayah) dan George W Bush (anak), niat menghancur-leburkan Irak sudah nampak. Tidak salah jika AS mengetahui betul, kekuatan persenjataan Irak, meskipun sewaktu masih didukung AS, persenjataan Irak banyak dibantu AS.
[Buku saya)

Anehnya ketika AS mengatakan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, karena dulu memang bantuan perang AS , ternyata tidak terbukti sama sekali. Irak hancur karena laporan rahasia yang keliru. 

Buktinya, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair meminta maaf atas invasi Irak yang menurutnya merupakan kesalahan intelijen yang besar. Hal ini disampaikan Blair dalam wawancara dengan pembawa acara GPS di CNN Fareed Zakaria, Minggu, 25 Oktober 2015. 

Ujar Blair: "Saya minta maaf karena intelijen yang kami gunakan ternyata salah, walaupun dia (Saddam Hussein) sering menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri, tetapi program (senjata pemusnah massal) itu tidak berada dalam bentuk yang kami kira," kata Blair.
Ingat Keluarga Bush, Ingat Irak (Reuter)"]

Memang Blair merujuk laporan intelijen yang muncul sebelum invasi pimpinan AS ke Irak tahun 2003. Dalam laporan itu disebutkan Saddam memiliki senjata pemusnah massal, yang menjadi dasar serangan AS dan Inggris ke negara itu. Namun belakangan diketahui, laporan rahasia itu salah. Tapi invasi terlanjur dilakukan, pemerintahan Saddam hancur, dan pemimpin Irak itu digulingkan. Saddam dieksekusi mati dengan cara digantung pada hari Idul Adha tahun 2006.

Lengsernya Saddam juga tidak membuat Irak damai. Peperangan demi peperangan terjadi di negara itu, salah satunya adalah konflik sektarian yang memakan banyak korban jiwa. Berbagai kelompok militan bermunculan, salah satunya al-Qaeda dan belakangan adalah ISIS.

Blair mengaku tidak tahu dampak invasi itu akan sangat parah dan berkepanjangan. "Saya meminta maaf atas kesalahan dalam perencanaan dan, tentu saja, kesalahan kami dalam memahami apa yang akan terjadi setelah kami menggulingkan rezim." Kata “kesalahan kami,” apakah sudah membawa nama AS ? Atau menunjuk ke Inggris saja? Boleh jadi memang perlu AS juga meminta maaf.

Terlepas dari itu semua,  saya ingin mengatakan bahwa mantan Menteri Luar  Negeri RI Ali Alatas  benar. Ucapannya menjadi dasar berpijak Kebijakan Luar Negeri Indonesia waktu itu. Ali Alatas  pada   hari Senin, 25 Februari 1991 mengingatkan AS dan sekutunya  agar  jangan mencoba invasi atau  menggulingkan  pemerintahan Irak.

“Tujuan utama  resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah penarikan mundur  pasukan Irak dari Kuwait dan mengembalikan  pemerintahan Kuwat yang sah. Tetapi karena tujuan perang ini menghendaki Kuwait tidak hancur, maka jangan  buat Irak hancur. Bukan kehancuran  Irak yang dikehendaki, bukan pula penyerahan Irak, tetapi pengusiran Irak. Penghancuran pemerintah Irak tidak termasuk dalam resolusi PBB,” kata Ali Alatas.

Di sinilah letak kepiawaian Ali Alatas sebagai Menlu RI. Sayang sikap ini berubah di masa  selanjutnya. Kita pun semakin bertanya-tanya, di mana posisi Indonesia melihat Irak?  Apakah kita masih non-blok ?

Konten ini telah tayang di Kompasiana dengan judul "Ali Alatas Benar, Blair Minta Maaf."

 Kreator: Dasman Djamaluddin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reuni Bersama Wartawan Pelita dan Sripo

PARA WARTAWAN YANG SAYA KENAL

Mendiskusikan Profil Mantan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah