PARA WARTAWAN YANG SAYA KENAL
1. KAMSUL HASAN
Waktu sahur, saya menyaksikan foto di _facebook_ . Saudara kita Kamsul Hasan sakit. Ia terlihat sedang dijenguk Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari dan Indah Kirana sebagai Ketum IKWI Pusat. Semoga Allah SWT menyembuhkan penyakitnya. Aamiin Ya Rabbal'alamin.
Kamsul Hasan yang merupakan mantan Ketua PWI Jaya itu aktif sebagai tenaga ahli di Dewan Pers dan beberapa kementerian, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kamsul adalah ombudsman. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana jurnalistik dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta dan memperoleh gelar Sarjana Hukum dan Magister Hukum dari STIH Iblam Jakarta.
Waktu sahur ini, saya menyaksikan foto di _facebook_ . Saudara kita Kamsul Hasan sakit. Ia terlihat sedang dijenguk Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari dan Indah Kirana sebagai Ketum IKWI Pusat. Semoga Allah SWT menyembuhkan penyakitnya. Aamiin Ya Rabbal'alamin.
Kamsul Hasan yang merupakan mantan Ketua PWI Jaya itu aktif sebagai tenaga ahli di Dewan Pers dan beberapa kementerian, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kamsul adalah ombudsman. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana jurnalistik dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta dan memperoleh gelar Sarjana Hukum dan Magister Hukum dari STIH Iblam Jakarta.
2. BURHANUDIN MOHAMAD (B.M.) DIAH
Tokoh pers Burhanudin Mohamad Diah atau namanya lebih suka disingkat dengan B.M Diah meninggal pada 10 Juni 1996 di Rumah Sakit Jakarta. Sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Tangerang sejak April 1996.
Di usia 79 tahun, B.M. Diah meninggalkan alam yang fana ini menuju keharibaan sang pencipta. Tidak seorang pun menduga, betapa cepatnya ia berlalu, karena di usia 75 tahun, saya sering melakukan wawancara untuk buku sejarah hidupnya, hampir tiga kali seminggu. Pada waktu itu, kondisinya terlihat baik-baik saja. Di sinilah kelebihan beliau, bisa menyimpan rasa sakit. Sebetulnya, menurut sekretaris pribadinya, Eveline, saat habis wawancara dengan saya, diam-diam meluncur ke rumah sakit.
B.M. Diah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta. Ketika pemakaman B.M. Diah, banyak tokoh penting yang hadir di rumah duka di Jalan Patra X, Kuningan, Jakarta Selatan seperti Presiden Soeharto, Wapres Try Sutrisno, Menpen Harmoko, sejumlah menteri, Mochtar Lubis, Roeslan Abdulgani,SK Trimurti, konglomerat Liem Sioe Liong, keluarga dan kerabat almarhum.
Saya tidak hadir di acara pemakaman almarhum B.M. Diah itu, tetapi menulis sebuah komentar di Harian "Merdeka," edisi 11 Juni 1996 dengan judul: " Selamat Jalan Bapak B.M Diah."
Saya bergabung dengan Kelompok Grup Merdeka, Majalah Berita TOPIK tahun 1983 sebagai Redaktur Pelaksana. Kemudian setelah buku "Butir-Butir Padi BM Diah," selesai tahun 1992, saya menjadi Redaktur Luar Negeri Harian "Merdeka."
Harian "Merdeka," punya ciri khas, yaitu berkop warna merah darah. Keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945. Harian ini terbit 1 Oktober 1945, hanya satu setengah bulan setelah bangsa Indonesia tengah berjuang merebut kemerdekaan.
Harian "Merdeka," mengembangkan sayapnya. Pada tahun 1948, terbit Mingguan "Merdeka."Selanjutnya "Indonesia Observer," dan Majalah TOPIK pada 24 Januari 1972. Tetapi setelah BM Diah meninggal dunia, berangsur-angsur Kelompok Merdeka runtuh.
Sebelum Harian "Merdeka" runtuh, saya dikirim B.M. Diah ke Irak. Memang harian ini sangat peduli kepada kepentingan Dunia Ketiga.Pertanyaannya, kenapa kebijakan harian ini dikenal di negara-negara Sosialis? Karena B.M. Diah tidak suka adanya suatu ketidak-seimbangan. Melalui politik keseimbangan ("balancing politic") tidak akan terjadi otoriter dan arogan.
Itulah sebabnya tulisan-tulisan B.M.Diah selalu membela patriotisme terhadap Irak. Ketika terjadi Perang Teluk, antara Irak dengan Amerika Serikat beserta sekutunya, Harian "Merdeka," memunculkan judul-judul yang boleh dikatakan bersemangat patriotik dalam hal membela negara Dunia Ketiga, yaitu Irak. Ketidakadilan Dewan Keamanan PBB terhadap Irak, pada waktu itu dipertanyakan harian ini. Bahkan B.M.Diah sendiri sering menulis berturut-turut tentang situasi terakhir di Irak.
Hasil kunjungan saya ke Irak yang diutus BM Diah tertuang dalam buku saya: "Saddam Hussein, Menghalau Tantangan." Buku ini diterbitkan tahun 1998 dan diterbitkan PT Penebar Swadaya dibantu Kedutaan Besar Irak di Jakarta.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "B.M. Diah dan Keberpihakan ke Dunia Ketiga", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/dasmandjamaluddin/593b7ae651977382580a923a/bm-diah-dan-keberpihakan-ke-dunia-ketiga
Kreator: Dasman Djamaluddin
3. HERAWATI DIAH
Pagi Jumat, 30 September 2016, saya mendapat pesan singkat dari Pak Rohadi Subardjo dan ibu Damayanti, bahwa ibu Herawati Diah wafat pada pukul 04.20 WIB di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Sebelumnya, saya sudah tahu bahwa ibu Herawati Diah sudah sakit. Hanya pihak keluarga berpesan agar didoakan cepat sembuh dan tidak perlu dijenguk agar beliau bisa leluasa beristirahat. Maklumlah usia beliau sudah 99 tahun lima bulan pada bulan September ini.
Saya bersama Roosiah Yuniarsih dan seorang teman, langsung ke rumah kediaman almarhum di Jalan Taman Patra Kuningan IX no.10, Jakarta.Di sana sudah dipenuhi sanak saudara, handai tolan dan para sahabat.Suasana begitu terharu ketika jenazah akan diberangkatkan dari rumah almarhum menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata, karena memperoleh Bintang Mahaputra Utama RI pada tahun 1995.
Di samping itu, almarhumah menerima penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia Pusat kepada wartawan aktif berusia 70 tahun pada tahun 1989. Penghargaan lain adalah Peniti Emas dari Ikatan Sarjana Wanita Indonesia pada tahun 1995 dan penghargaan dari Panitia Peringatan Kesehatan Sedunia pada tahun 1999.
Suasana di TMP Kalibata agak mendung. Upacara pemakaman secara militer berlangsung dengan khidmat. Upacara dipimpin oleh mantan Menteri Pertahanan RI Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar sebagai Inspektur Upacara. Suasana syahdu semakin terasa ketika jenazah dimasukkan ke liang lahat.Doa untuk almarhum dilantunkan dan air mata para sahabat, sanak keluarga pun tak dapat dibendung. Selamat jalan ibu Herawati Diah.
Ibu Herawati Diah lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 3 April 1917. Pendidikan dilaluinya di American High School, Tokyo tahun 1936-1938. Juga pendidikan di Elmira College, negara bagian New York. Kemudian pindah ke Barnard College, Columbia University, New York, Amerika Serikat (1938-1941).
Setelah selesai, almarhumah bekerja sebagai pembantu lepas kantor berita AS, UPI dari tahun 1941-1942. Kemudian menjadi penyiar Radio Japan, Batavia.Ketika menjadi penyiar ini, almarhum bertemu dengan pemuda BM Diah yang kemudian menjadi suaminya.
Kesan mendalam saya ialah ketika para mantan wartawan Harian Merdeka Jl.AM Sangaji 11, Jakarta menyelenggarakan Hari Ulang Tahun ke-99 ibu Herawati Diah di Perpustakaan MPR-RI. Beliau datang dengan senyum meski memakai kursi roda. Begitu pula ketika acara silaturahmi dilanjutkan di Taman Wisata dan Sport Situ Gintung. Almarhum berkenan hadir di acara tersebut.Di samping almarhum ibu Herawati Diah, hadir pula mantan Menteri Penerangan RI Pak Harmoko. Beliau juga datang dengan berkusi roda.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Herawati Diah, Perempuan Santun Itu Telah Tiada", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/dasmandjamaluddin/57ee7fe450f9fd9c37cf1f29/herawati-diah-perempuan-santun-itu-telah-tiada
Kreator: Dasman Djamaluddin
https://www.slideshare.net/merdeka11/buku99-tahun-herawatidiah
4. JOESOEF ISAK
Sabtu, 15 Agustus 2009, pukul 13.30, seorang wartawan harian "Merdeka," Joesoef Isak, meninggal dunia. Jebazahnya di bawa dari kediamannya, Jalan Duren Tiga, Jakarta menuju ke peristirahatannya terakhir.
Setahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 28 Agustus 2008, sebagaimana terlihat di foto atas, wartawan harian "Merdeka," yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi ketika, Burhanudin Mohamad (B.M) Diah diberi kepercayaan oleh Presiden Soekarno sebagai duta besar. Memang tidak lama ia menjabat, setelah itu kendali harian "Merdeka," beralih lagi kepada B.M.Diah.
B.M.Diah adalah seorang nasionalis, sementara Joesoef Isak mengatakan kepada saya, "saya tidak ingin sekedar menjadi wartawan." Pernyataan Joesoef Isak itu telah dibuktikan dengan menjadi seorang penerbit dan penulis. Bahkan untuk itu, ia mendirikan penerbitan buku bernama "Hasta Mitra." Banyak buku yang diterbitkannya, berpuluh-puluh. Di antara terbitannya yang mencolok adalah tulisan penulis dan sastrawan Indonesia asal Blora, Pramoedya Ananta Toer.
Saya catat buku-buku tulisan Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan penerbit "Hasta Mitra," pimpinan Joesoef Isak, yaitu :
1. "Bumi Manusia"
2. "Anak Semua Bangsa"
3. "Jejak Langkah"
4. "Rumah Kaca"
5. "Arus Balik"
6. "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu"
7. "Arok Dedes"
8. "Sang Pemula"
9. "Hikayat Siti Mariah"dan 12 buku lainnya, termasuk cetak ulang buku yang sudah diterbitkan tahun 1950-an.
Di Blora pernah diselenggarakan diskusi tentang buku Pramoedya Ananta Toer ini. Pramoedya memang putra asli Blora. Meski ia telah tiada, tetapi karyanya tetap akan dibaca dan dikenang sepanjang masa.Sebagaimana ia pernah katakan:
"Orang boleh pintar setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
5. MASDUN PRANOTO
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang sahabat/saudara kita Bapak Masdun Pranoto, pukul 06.30 WIB pagi, Selasa, 13 Maret 2012.
Bagi para wartawan sekitar tahun 1992/1993 pasti mengenal beliau karena beliau pada waktu itu sebagai Ketua PWI Jaya.Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa Pak Masdun, dilapangkan kuburnya, diberi hidayah dan kepada keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Amin...!!!
Bagi anggota Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Orda Depok, sudah tidak asing lagi. Beliau termasuk pendiri ICMI Orda Depok. Saya secara pribadi bertemu beliau membantu konsep-konsep untuk Silakda ICMI Orda Depok. Meskipun sakit, tetapi semangat beliau membantu masalah-masalah yang berkaitan dengan ummat tidak kunjung padam. Semoga amal baik beliau menjadi amal jariah. Amin....Selamat Jalan Pak Masdun.
6. TARMAN AZZAM
Hari Jumat sekitar pukul 11 pagi, Roosiah Yuniarsih menelepon saya agar bisa berangkat mewakili Pak Nurman Diah dan keluarga harian Merdeka Sangaji 11 ke rumah almarhum Pak Tarman Azzam.Ros lagi di Bandung. Karangan bunga turut berduka telah dikirim ke alamat almarhum. Sebelumnya saya sudah mendengar informasi bahwa Pak Tarman Azzam pada hari Jumat, tanggal 9 September 2016 mantan Pemimpin Redaksi harian "Terbit," dan mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) meninggal dunia.
Sesampainya saya di kediaman almarhum Pak Tarman, sudah ramai dengan pelayat.Hanya yang belum ada peti jenazah almarhum.Bisa dimaklumi karena beliau meninggal dunia bukan di Jakarta, tetapi di Ambon, Maluku. Almarhum di sana sebagai penasehat PWI menghadiri Pesta Teluk Ambon dan Peluncuran Hari Pers Nasional (HPN) 2017.Menurut informasi, beliau jatuh di kamar mandi karena serangan jantung. Bangku yang ada di kamar mandi ikut ambruk karena menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Tetapi memang Allah SWT berkehendak lain, Pak Tarman meninggal dunia.
Ketika peti jenazah belum sampai di Jakarta, isteri almarhum mengatakan bahwa pagi hari sebelum meninggal, almarhum masih sempat berteleponan dengan isterinya di Jakarta.Almarhum menyatakan sakit maag.Entahlah mana yang benar tentang penyakit almarhum, yang jelas, ketika raungan sirine berbunyi menandakan mobil jenazah tiba dari Bandara Soekarno-Hatta, raungan isteri, anak dan keluarga pun pecah. Bagaimana pun kesedihan ditinggalkan orang yang dicintai tidak dapat ditahan.Suasana larut dalam kesedihan.Selamat jalan Pak Tarman.Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa almarhum dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan.Aamiiin.
Saya di tempat itu bergabung dengan para mantan wartawan harian "Merdeka," Sangaji 11 di antaranya Syahdanur AM dan Karim Paputungan. Banyak cerita nostalgia kami terungkap dalam omong-omong di antara mantan wartawan yang dulu dipimpin oleh almarhum Burhanudin Mohammad Diah (B.M.Diah).
Pertemuan terakhir saya dengan almarhum Pak Tarman Azzam ialah ketika kami mantan wartawan Sangaji 11 menyelenggarakan peringatan 99 tahun Ibu Herawati Diah pada hari Kamis, tanggal 3 April 2016 di Perpustakaan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) RI. Almarhum kami plot sebagai pembicara dalam diskusi mengenai buku 99 Tahun Herawati Diah tersebut. Dengan semangatnya, almarhum mengatakan bahwa Ibu Herawati bukanlah perempuan yang pasif tetapi aktif.Selesai seminar yang dihadiri Ibu Herawati Diah dan anak laki-lakinya Nurman Diah, almarhum mengatakan kepada saya:"Das, aku sudah baca tulisanmu di buku ini, "seraya menunjukkan buku yang diberikan panitia.Buku ini ditulis oleh Tim Wartawan Sangaji 11.
Selanjutnya kenangan dengan almarhum yang lain yaitu pada 29 Februari 2000 sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesian menyatakan mendukung penulisan buku saya "Saddam Hussein Menghalau Tantangan." Dalam surat tersebut, meminta saya terus menulis."Pada pokoknya, kami merasa turut bergembira, karena buku karangan Saudara mendapat perhatian dari beberapa pihak, termasuk Duta Besar Irak di Jakarta," ujar almarhum sebagai Ketua Umum dan Bambang Sadono sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia.
Menurut saya, Persatuan Wartawan Indonesia yang dipimpin almarhum sungguh tepat mendukung penulisan buku Saddam Hussein tersebut, karena baru baru ini Perdana Menteri Inggris dan Wakilnya semasa Irak dibombardir dan Presiden Irak Saddam Hussein digantung telah meminta maaf.Serangan ke Irak itu keliru, ujar mereka.Hanya utang saya kepada almarhum, saya belum bisa memberikan buku tersebut ke perpustakaan PWI Pusat. InsyaAllah dalam waktu dekat akan saya berikan sesuai amanah almarhum sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat PWI.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tarman Azzam dan Sebuah Kenangan", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/dasmandjamaluddin/57d3d9cb34977319122e61db/tarman-azzam-dan-sebuah-kenangan
Kreator: Dasman Djamaluddin
7. JAKOB OETAMA
Adalah atas jasa wartawan senior harian Kompas, Valens Goa Doy di Grup Pers Daerah Kompas, saya menjadi wartawan luar negeri di Biro Jakarta, Palmerah Barat, Jakarta. Waktu itu, saya baru saja menolak permintaan Pemimpin Grup Merdeka, Burhanudin Mohamad (B.M) Diah agar saya sebagai Redaktur Pelaksana Majalah Topik (Grup Merdeka) menerbitkan majalah tanpa cover. Saya pun mengundurkan diri.
Ketika Sekretaris Redaksi Harian Kompas, Azkarmin Zaini hengkang dan membentuk manajemen baru di harian Pelita, saya ikut bergabung.
Saya bergabung di Kelompok Kompas (dulu namanya Pers Daerah) pada tanggal 15 Maret 1989 hingga 17 Juni 1990. Singkat sekali, karena saya kemudian bergabung dengan mantan wartawan Kompas, Sudirman Tebba, Purnama Kusumaningrat dan seorang lagi Zaili Asril di bawah pimpinan mantan Sekretaris Redaksi harian Kompas, Azkarmin Zaini ke harian Pelita manajemen baru.
Harian Pelita gagal berkembang dan Azkarmin Zaini kemudian menjadi Direktur News, Sports & Corporate Communications televisi ANTV dan salah satu wartawan senior Indonesia. Sebelumnya dia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi ANTV sejak jaringan televisi itu berdiri tahun 1993 - 2005 dan pada tahun 2007 - 2010.
Waktu saya ingin pindah ke harian Pelita manajemen baru wartawan di Grup Kompas, Raymond Toruan menemui saya dan disinilah saya kenal baik dengan wartawan senior Grup Kompas, Theakarta Post, yang juga ikut mengurusi Pers Daerah Kompas waktu itu.
Akan halnya wartawan senior Kompas, Valens Goa Doy," dari beliaulah saya belajar kebaikan sebuah hati. Mana mungkin bila seseorang sudah menyatakan mengundurkan diri, kemudian kembali ingin bergabung, diterima.
Waktu itu saya ditempatkan Valens Doy di Persda Palembang, harian Sriwijaya Post. Itulah dia Valens Goa Doy, wartawan senior Kompas yang baik hati.
Ketika terdengar wartawan senior Valens Goa Doy itu menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 21.30 Wita, Selasa 3 Mei 2005, saya berdoa semoga wartawan baik itu sudah hidup damai di alam sana.
Hubungan saya meski tidak lagi terjalin melalui dunia jurnalistik dengan Grup Merdeka, tetapi hubungan itu terjalin melalui penulisan buku. Terakhir saya menerbitkan buku sebagai editor buku: Catatan BM Diah, yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, tahun 2018. Meski tidak terlihat peranan Penerbit Kompas, sesungguhnya kedua penerbitan ini bekerjasama.
Juga buku saya Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supesemar diterbitkan Grasindo dua kali, yaitu tahun 1998 dan diterbitkan lagi tahun 2008. Grasindo adalah PT. Gramedia Widiasarana Indonesia beralamat di Gedung Kompas Gramedia.
Menariknya yaitu ketika menulis buku: Rais Abin, Panglima Pasukan PBB di Timur Tengah 1976-1979 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012), waktu itu Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama bersedia menulis "Sekapur Sirih," dalam buku tersebut.
Lebih menarik lagi pada hari Kamis, 26 Juli 2012, saya diajak Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Rais Abin menemui Pemimpin Umum dan Pendiri Harian Kompas Dr (HC) Jakob Oetama. Saya merasa bangga karena bisa menyaksikan kedua sahabat yang sezaman ini bersenda gurau di lantai VI Harian Kompas. Usia Jakob Oetama, tidak begitu jauh terpaut dengan Rais Abin karena beliau lahir di Borobudur, Magelang, 27 September 1931.
Jakob Oetama sangat konsisten dengan tugasnya sebagai wartawan. Waktu itu ia merupakan Presiden Direktur Kelompok Kompas-Gramedia. Seorang rekan pernah membisiki saya, apakah benar atau tidak informasi itu bahwa pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, beliau pernah ditawari jabatan Menteri Penerangan RI oleh Harmoko? Memang benar tawaran tersebut, tetapi Jakob Oetama menolak.
Pada waktu pembicaraan ini, Jakob Oetama ditemani Redaktur Senior Kompas August Parengkuan yang kemudian dipercaya menjadi Duta Besar RI untuk Italia. Tokoh Pers Jakob Oetama dan Redaktur Senior Kompas August Parengkuan juga sudah tidak ada, tetapi kalau saya mengingat Kompas, pasti ingat dengan mereka.
8. ARISTIDES KATOPPO
Hari Minggu, 29 September 2019, saya menerima kabar duka datang dari dunia jurnalistik Indonesia. Jurnalis senior yang juga salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen, Aristides Katoppo dikabarkan meninggal dunia pada hari ini, Minggu, 29 September 2019, sekitar pukul 12.05 WIB
Kabar meninggalnya eks wartawan senior "Sinar Harapan" atau "Suara Pembaruan" itu disampaikan sejumlah akun di laman Twitter, Minggu siang.
"Telah berpulang ke rumah Bapa di surga, eks wartawan senior Sinar Harapan/Suara Pembaruan dan pendiri AJI (Aliansi Jurnalis Independen) *Aristides Katoppo*, pada hari Minggu 29 September 2019, sekitar pk 12:05. (Info dr Ign Haryanto). #RIPAristidesKatoppo," tulis Komisaris Utama PT Adhi Karya (Persero), Fadjroel Rachman di akun Twitternya @fadjroeL.
Saya yang baru saja menerima langsung WA dari Nurman Diah, langsung teringat sebuah kenangan pada hari Senin, 11 Juni 2018, ketika memenuhi undangan keluarga Aristides Katoppo untuk berbuka puasa di rumahnya. Dalam pikiran saya, banyak wartawan atau mantan wartawan yang hadir di rumahnya. Ternyata, keluarga memang tidak mengundang wartawan yang lain, selain beberapa orang, termasuk diri saya.
Selain saya, ada seorang anak muda bernama Iwan Setiawan. Ia sering menulis buku, beragama Budha. Mengapa saya sedikit membicarakannya tentang agama? Karena Aristides Katoppo dan isteri, Samiyarsi Katoppo Sasmoyo (Mimis) mengundang saya berbuka puasa, beragama Kristen.
Jadi secara tidak langsung terciptalah kerukunan beragama di rumah keluarga besar Aristides Katoppo.Di usia 80 tahun, Aristides masih ingat dengan saya. Bagaimana dahulu pertama kali saya mewawancarai beliau untuk mengisi buku yang saya tulis : "Butir-Butir Padi B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman" (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992).
Ia pun masih ingat, saya dulu dan Aristides pergi ke Bogor dalam membantu menyusun buku yang saya sunting : " Gunawan Satari, Pejuang, Pendidik dan Ilmuwan " (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994).
Lebih saya kagum, Aristides di usianya ke 80, ia masih ingat tentang buku saya : "Saddam Hussein Menghalau Tantangan," yang diterbitkan oleh Aristides tahun 1998. Buku ini diterbitkan atas kerjasama saya dengan Kedutaan Besar Irak di Jakarta.
Memang buku ini merupakan hasil perjalanan saya ke Irak, di bukan Desember 1992, atas undangan Kementerian Penerangan Irak. Buku ini pun akhirnya memperoleh penghargaan dari Kantor Sekretaris Presiden Republik Irak pada 24 Juni 1998.
Ketika Aristides membicarakan mengenai Papua, saya sedikit berkonsentrasi. Mengapa? Karena saya di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih dari tahun 1975 hingga 1980.
Minimal pembicaraan Aristides tentang Papua sedikit mengingatkan saya tentang berbagai hal yang berkembang di Papua, baik semasa kuliah di sana, maupun awal-awal sejarah Papua ke pangkuan RI.
Bahkan Aristides banyak menambah pengetahuan saya, di saat-saat Presiden RI Soekarno bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Kennedy. Usaha Uni Soviet yang juga ingin masuk ke Papua.
Kerukunan beragama yang saya alami di Rumah Aristides Katoppo, sudah lama saya saksikan ketika bergabung dengan Kelompok Harian "Kompas," baik semasa saya di Jakarta tahun 1989 maupun di Kelompok Harian Kompas di Palembang yang sudah tentu mengingatkan akan figur Valens Goa Doy.
Ia yang sangat sibuk hilir mudik menanyakan tentang persiapan untuk berbuka puasa dan makan sahur, bagi kami yang kerja hingga malam, bahkan menjelang sahur.
Seperti saya yang sering berurusan dengan berita luar negeri, karena perbedaan waktu yang sangat jauh antara misalnya di Amerika Serikat dengan Indonesia.
Berarti dengan pengalaman saya berbuka di rumah Aristides Katoppo, ternyata di antara kita, memaknai kerukunan antar ummat beragama sudah kami praktekkan sejak lama.
Itu belum lagi dikaitkan dengan pengalaman saya bergabung dengan Majalah "Topik," tahun 1982 dan Harian "Merdeka," tahun 1992, kedua penerbitan ini tergabung dalam Kelompok Harian Merdeka pimpinan seorang nasionalis tulen Burhanudin Mohamad Diah atau namanya populer dengan singkatan B.M.Diah.
Selamat jalan wartawan senior Aristides Katoppo.
Komentar
Posting Komentar